Antara Mohammad dan Theresia
Theresia. Itu namaku. Saat ini
aku berdiri di depan altar Tuhanku. Memejamkan mataku dan berdoa. Ku buat tanda
salib seperti ajaran gerejaku dan kepercayaanku sejak lama. Hari itu mataku
berbasuh airmata yang bercampur dengan keringat, karena aku seakan berlari dari
kenyataan diluar sana. Aku hanya mencoba mencari ketenangan yang tidak bisa aku
rasakan dikenyataan dunia. Yah aku terlalu terlena dengan cerita-cerita dongen
masa kecilku tentang cinta dan perasaan.
Kulit putihku bercahaya, rambut
pirangku beruraian, namun bola mata biruku menampakkan kesedihannya. Kami
terpisah jauh bukan hanya karena warna kulitku, budayaku, bahasaku, dan cara
berdoaku. Bahkan jarak yang begitu jauh antara dua benua yang memisahkan kami.
“Ya Tuhan, kenapa aku harus
merasa seperti ini padanya?” tanyaku dalam doa yang kuucapkan pada Tuhan saat
itu. Aku benci segala perbedaan yang memisahkan aku dan dia. Bahkan dari segi
budaya yang seharusnya indah, ternyata menjadi sangat menyedihkan. Atau perkara
caraku dan caranya berdoa yang berbeda, yang sebenarnya meminta sesuatu yang
sama.
Hari itu hari minggu, aku
sendirian saat semua umat yang merayakan ibadah minggu sudah pulang. Aku hanya
bisa terisak menanyakan “Kenapa, Mengapa, Kenapa, Mengapa” Semua kata itu aku
ulang-ulang tapi bahkan aku tidak tahu apa jawabannya.
Dia disana. Namanya Mohammad. Perlukah
aku deskripsikan dirinya. Dia begitu indah. Berwarna. Aku mencintai kulitnya
yang coklat , rambutnya yang hitam legam, dan matanya yang gelap teduh menumbuhkan
ketenangan dalam hatiku.
Dia disana sedang merayakan hari
besarnya,Idhul Fitri. Idhul Fitri adalah hari raya yang bahkan akupun ikut
bergembira merasakannya. Ketupat kesukaanku dicampur dengan Kuah sayur opor
labu yang membuatku ingin menemaninya disana. Menemani merayakan hari bahagia
setelah beberapa saat dia berpuasa.
Tapi aku sekarang disini, dalam
gereja, aku berdoa.Kita mencari berkat, meminta perlindungan dan bersyukur
kepada Tuhan dengan jarak yang sangat terpisah jauh. Sementara dia, pagi ini
dia berpakaian serba baru, serba putih, dengan wajah yang begitu bersinar, hati
yang begitu bahagia. Dia berjalan bersama dengan ayah, ibu, dan adik-adik
perempuannya , menuju rumah ibadah.
Aku sedih. Aku iri. Aku juga
ingin seperti foto-foto dalam feeds intagramku. Teman-temanku saling menemani
untuk merayakan hari ini dari jarak yang begitu dekat. Mereka saling ikut ke
desa masing-masing untuk merayakan lebaran. Tapi aku tidak bisa. Fakta yang
menyakitkan aku tidak bisa menemaninya disana.
Atau untuk sekedar mengucapkan
selamat Idul Fitri, aku harus mengirimkan pesan singkat padanya , tanpa bisa
langsung bersalaman. Untuk ikut mengucapkan kepada keluarganyapun, aku tidak
bisa. Ibu dan Ayahnya menolakku saat mereka tahu aku beribadah ke gereja. Adik-adiknya
mengirimkan wajah masam ketika melihatku datang kerumahnya tempo itu.
Kembali ke natal tahun lalu, aku
berbahagia dengan keluargaku. Kami ke gereja mengucap syukur kepada Tuhan atas
kedatangannya ke dunia. Saat itu, aku berpakaian serba baru, rapi, cantik, dan
senang sekali merayakan hari Natal itu. Tapi disaat yang sama, dia tidak bisa
menemaniku. Dia hanya bisa menerima semua fotoku yang kukirimkan via pesan
kilat. Tanpa bisa mengucapkan “Selamat
Natal” atau memengang tanganku untuk bersalaman atau ikut merasakan nikmatnya
sajian kesukaanku dihari itu. Dan orang tuaku, mereka bahkan menolak untuk
mengundang dia datang ke rumah untuk merayakan hari besar kami.
Saat ini aku pun tidak tahu siapa
yang harus aku salahkan. Budayakah? Jarakkah? Atau Tuhankah yang salah? Aku
kadang hanya berharap dahulu orang tidak membeda-bedakan wilayah. Tidak
membedakan warna dan derajat satu dan lainnya. Tidak membedakan aku harus masuk
ke dalam gereja dan dia ke dalam mesjid.
Lalu sekarang aku bisa apa? Aku
hanya bisa menerima keadaan yang sudah diciptakan pendahulu kita . Menerima
konsekuensi dari manusia dijaman sebelum kita tercipta. Yah, mungkin memang
kita memang berbeda. Antara namaku dan namanya berbeda. Antara Mohammad dan
Theresia yang berbeda.
Komentar