Berjuang untuk bertemu masa depan

Pertama, jangan kamu bayangkan cerita ini tentang karir. Tapi sejujurnya aku katakan ini soal cinta.Jadi jangan berharap aku akan bercerita tentang prestasi dan karir ku yang biasa-biasa saja ini. Aku sekarang akan bercerita tentang kisah cintaku.

Mengawali cerita ini , aku sampaikan kepada kalian, bahwa aku cukup beruntung terlahir dikeluarga yang biasa-biasa saja. berkecukupan kalau boleh dibilang. Papaku PNS dan ibuku ibu rumah tangga. Aku terlahir 100% Jawa Tengah karena asal kedua orang tua ku dari Klaten, dengan ibuku yang masih ada sedikit keturunan Keraton Solo. 

Singkat cerita, keluargaku masih sangat konservatif kalau soal jodoh. Dari SMA aku disuruh jangan pacaran (tapi aku nekat). Dan ketika kuliah aku diwanti-wanti , "Kalau cari pacar yang Jawa". 
Oiya , aku juga 100% Katolik. Dimana orang tuaku menanamkan untuk selalu mencari pasangan yang seiman. 

Jaman SMA aku bandel, aku pacaran sama orang suku sebrang (walaupun dia Katolik juga). 2 tahun aku pacaran sama dia. 2 tahun pula setiap hari aku dijutekin mama kalau bawa dia ke rumah. Begitu juga waktu kuliah, 2 tahun aku pacaran dengan orang suku sebrang (Katolik, dengan umur dibawah ku 2 tahun) . dan 2 tahun itu pula Mamaku bawel ceramah soal suku yang sama juga.

Beberapa saat aku tak peduli, aku buta mata karena aku jatuh cinta. Dan yang kutahu, orang dari suku sebrang itu keras. Galak (dua-duanya loh), dan segala urusan kesukuannya ribet. dan masih banyak perbedaan bahasa dan segala tetek bengek yang harus diadaptasikan. 4 tahun banyak air mata bombay yang keluar, dengan permasalahan khas anak remaja dan anak dewasa muda. 

Lalu 7 tahun lalu, diantara persimpangan masih tetap bersama si mantan pacar , masih dengan keribetan perbedaan suku yang sama, tidak dianggap ada, menghadapi romantis - kegalakan - dan kekasaran yang pernah aku rasakan bersama si mantan, aku ingat kata Mamaku, " Cari yang seiman dan sesuku, cari yang sepadan" (sepertinya itu baku , dan mandatory buat Mama Papaku).

Lalu 7 tahun lalu , aku tak sengaja bertemu si bakal suami saat ini. Orangnya tidak begitu tampan (saat itu di ireng, cukup culun) , tapi yang kutahu dia tak pernah sekalipun kasar, maki-maki, ngata-ngatain, marah-marah , dan hampir semua smooth dari awal dekat - pacara 5 tahun - dan akhirnya menikah. walau tetap ada air mata bombay , tetap ada galau-galau khas dewasa muda karena si calon suami ini keukeuh mau nikah umur 27, sedangkan aku mau nikah umur 25. Ya kupikir hanya sebatas itu, dengan sedikit bumbu rebutan tahun nikah dengan calon ipar. dan segala macam bumbu-bumbu yang menjadikan semua hidup.

Tapi sekarang, setelah menjadi orang tua, setelah melawati batas keinginanku dan keinginan orang tua, setelah memilih lebih menyayangi diriku sendiri, yang kutahu, hidup juga mengalir mudah. Walau tetap butuh perjuangan, tetap butuh effort , tetap butuh konsisten. 
Yang kutahu, dengan mengawali segala hubungan dengan restu orang tua, baik yang dari sisiku atau dari sisi pasanganku, semua akan terasa lebih mudah. entah , mungkin karena berkat dan restu dari orang tua, sehingga alam juga membantu. Semesta bersuara indah 

Komentar

Postingan Populer